Sabtu, 20 Desember 2014

Quotes


Beberapa kutipan dari beberapa buku yang dibaca beberapa waktu lalu. Kind of vulgar, but has deep meaning.

Tapi di situlah (Bali) aku baru tahu bahwa perempuan mens tidak boleh masuk ke tempat suci. Di gereja tak ada satu orang pun membicarakan itu. Menstruasiku tidak pernah menghalangi aku untuk ke gereja atau menerima komuni.  
(Ayu Utami - Pengakuan Eks Parasit Lajang)
 
Kelak setelah dewasa aku ditanya tentang tentang memori paling indah  bersama ibu, dan aku tidak bisa menjawab. Ia seperti rahim dan aku bayi. Aku tidak bisa melihatnya tapi jika terlepas darinya aku menjerit mau mati. Ia adalah udara. Aku tak menyadarinya, tapi jika ia tak ada, aku tak bisa bernafas.   
(Ayu Utami - Pengakuan Eks Parasit Lajang)         
 
Ketika lelaki memusuhi perempuan, maka kebencian mereka menjadi seksual.  
 (Ayu Utami - Manjali dan Cakrabirawa)         

Apa yang tak selesai kau mengerti di sini, tak boleh kau tanyakan padalu di luar. 
(Ayu Utami - Bilangan Fu)

Kutemukan Juga Mereka





Ayu Utami - Manjali dan Cakrabirawa
Okky Madasari - Entrok
Syahmedi Dean & Ayu Gendis - Diktator Galau




Syahmedi Dean - Tetralogi Fashion



Ratih Kumala - Tabula Rasa
Stephany Josephine - The Freakty Teppy
Ayu Utami - Simple Miracle




Ernest Prakasa - Ngenest
Ernest Prakasa - Ngenest2




Dee Lestari - Rectoverso
Dee Lestari - Supernova Gelombang





Ayu Utami - Bilangan Fu

Cieee Kepo Cieeeeee

 

Jumat, 21 Maret 2014

10 Bulan Terakhir




WARNING!!! Post kali ini bakal panjang banget. (sapa duli Ces?)

10 bulan gak nge-blog tentu udah banyak hal yang terjadi. Skripsi beres, ujian skripsi pun lancar dengan segala surprise yang terjadi, lalu ditutup dengan wisuda (yang dijalani dengan perasaan ‘dikhianati’, ttssaahhh..). Balik ke tanah kelahiran, jadi pengangguran kurang lebih sebulan. Jadi guru di sebuah SMP swasta, ketemu orang-orang baru, ketemu dedek-dedek rok biru celana pendek yang level gaulnya jauh melebihi ‘kegaulan’ saya sewaktu 11 tahun yang lalu.

Tapi ada satu hal yang gak berubah, itu. Awalnya, rutinitas tiap hari bolak-balik rumah sekolah, dengan segala capek berjibun-jibun lebainya, gak pernah ada waktu buat mikir yang lain-lain. Tapi, tapi, tapi, tapi, semesta kembali menyentil, bikin saya pengen menjawab “what?”, tentu dengan nada sinis dan muka sebel. Ternyata semesta bisa kolot juga. Stop aja lah, gak usah dibahas aja, gak penting. Malu dong kalo dibaca sama ‘Inces 3 tahun yang akan datang’.

Dimulai dari proses penulisan skripsi yang berliku-liku, yang kata orang-orang kalo itu adalah masa-masa paling bikin stress selama kuliah, dan punya efek samping bisa bikin si pelaku sampai kurusan. SEMUA ITU DUSTA SODARA-SODARA!!!! Saya memang sempat galau bentar (gengsi ah kalo bilang stress), tapi barang turun 2 ons pun tidak, paling parah cuma mencret-mencret 3-4 hari, serius. Balik ke proses penulisan skripsi. Dari nyari sekolah, dapat harapan tinggi, trus malah ditolak mentah-mentah sama bagian Humas sekolahnya. Trus sibuk keliling lagi nyariin sekolah, dari tengah kota sampe ke kaki gunung, balik ke tengah kota lagi. Akhirnya dapat ijin juga melakukan penelitian di 2 sekolah. Trus dalam sebulan bolak-balik ke sekolah buat ambil data, wawancara, mampir sana-sini, jajan sana-sini. Lanjut konsultasi sama dosen pembimbing yang ‘memaksa’ kita buat bangun pagi-pagi, bahkan pernah gara-gara telat bangun sampe gak sempat mandi.

Begitu skripsi beres, langsung daftar ke sekretariat kampus dengan segala kerempongannya. Ditambah jadwal ujian skripsi yang keluar tepat H-2, yang bikin hati kempat-kempot tapi tetap berusaha stay cool demi perasaan di masa datang (masa datang = 2 hari kemudian). Kebetulan dari awal saya pengennya gak kasi tau siapa-siapa termasuk Mama Papa tentang kapan jadwal ujian skripsi saya. Demi apa? Demi menghindari dukungan positif dari siapapun yang akan secara otomatis, mau gak mau akan berubah jadi tekanan dan justru bikin hati saya tambah juntrang-juntrung gak jelas. Maka berdiam dirilah saya selama 2 hari itu di kost-an, sibuk dengan membaca kembali skripsi, mengira-ngira pertanyaan apa aja yang mungkin keluar nantinya, bahkan untuk menentukan background ppt pun sampe googling tentang psikologi warna terhadap emosi manusia supaya pas ujian terlihat meyakinkan para dosen penguji. 

Hari-H tiba, saya ke kampus pagi-pagi, gak ada teman satu pun, wajar mereka gak tau. Jam-J tiba, saya masuk, cuap-cuap, tanya jawab sampe hampir 2 jam, keluar ruangan, dan SURPRISE!!! Ada muka-muka yang gak asing sedang duduk-duduk tepat di depan pintu masuk ruangan ujian. Selesai beres-beres, lapar, makan.

Selesai makan saya baru teringat kalo belum ada kasi kabar ke emak sama abah. Benar aja, gak lama setelah kasi kabar kalo anak mereka baru aja selesai ujian skripsi, si abah langsung telepon dan langsung nanya kenapa gak bilang-bilang kalo mau ujian skripsi. Dan yang bikin “oh.. so sweet~~”, sms saya ke Papa waktu itu ternyata masih disimpan sampe sekarang :D

Setelah semua urusan kuliah di Jogja beres, urusan pindahan barang-barang kost juga beres, balik lah saya ke kota kelahiran, Sintang city, Sintang Kota Bersemi, yang tentu saja tidak bersemi sama sekali, mengingat kolam lele dengan dasar aspal yang bertebaran di mana-mana. Awalnya saya pikir bakal susah bagi saya untuk beradaptasi di sini, terutama mengenai jam tidur, mengingat sewaktu di Jogja saya ini makhluk setengah manusia setengah kelelawar. Ternyata oh ternyata, bahkan dari hari pertama, jam 9 teng saya udah ngelungker manis di tempat tidur.

Sebulan kemudian saya berkesempatan menjadi guru di sebuah sekolah. Awalnya kagok-kagok gimana gitu, tapi makin kesini yah makin terbiasa. Rutinitas tiap hari, mengajar dari 7 – 12, lalu terkadang lanjut pengayaan bagi yang kelas 9, kadang juga sorenya lanjut lagi dengan kegiatan ekstrakurikuler, kadang juga baru balik lagi di rumah jam 5-6. Rutinitas yang jelas melelahkan tapi terbayar kembali tepat besok paginya ketika sampe di sekolah kembali. Rutinitas yang menjadikan saya seperti contoh manusia yang baik dan sehat, yang jam tidurnya adalah 8 jam per hari.

Dan sampai sekarang saya pun masih belajar menjadi guru yang becus, anak yang becus, kakak yang becus, manusia yang becus. Semoga ke depannya segala ketidakbecusan yang masih menempel di saya pelan-pelan bisa luntur sampai akhirnya saya bisa menjadi manusia yang berguna bagi sekitar, gereja, nusa, dan bangsa. MERDEKA!!!!

Entah ada kah pesan moral dari cuap-cuap sepanjang ini, budak Sintang gaul pun nyahut “ntah lah ye”. Yang pasti cuap-cuap ini sengaja saya tuangkan dari bentuk memori di otak ke dalam bentuk tulisan supaya 1, 2, 3 tahun lagi saya bisa kembali membacanya dan kembali diingatkan lagi “kamu selama ini udah ngapaian aja Ces?”.

Ciao.